Oleh Farid Wadjdi
Berbagai respon dunia terkait kudeta militer di Mesir, menunjukkan konstelasi politik yang menarik. Yang paling mengejutkan adalah bahwa Raja Saudi merupakan kepala negara pertama yang mengucapkan selamat atas kudeta tersebut. Sikap senada diikuti oleh negara-negara teluk seperti UEA, Qatar dan Irak. Sedangkan Suriah menunjukkan kegembiaraannya atas tergulingnya Mursi. Sementara itu Turki, Tunisia dan Iran mengecam kudeta militer, sebagai tindakan yang merusak demokrasi. Negara-negara Barat, kali ini kembali menampakkan standar gandanya dalam menyikapi kudeta tersebut. Amerika sangat terlihat menghindari kata-kata kudeta untuk penggulingan Mursi. Namun sikap yang cukup tegas justru ditunjukkan oleh Jerman, yang menyebut kudeta militer adalah kemunduran besar bagi demokrasi di Mesir.
Indonesia sendiri masih belum menunjukkan sikap yang jelas terhadap kudeta militer tersebut. Statemen yang keluar dari Presiden SBY maupun Menlu Marty Natalegawa masih bersifat diplomatis dan normatif. Menlu Marty Natalegawa menyatakan bahwa, “Selama ini Pemerintah Indonesia telah mengharapkan agar proses transisi demokrasi di Mesir dapat berjalan dengan baik, tertib dan damai. Kiranya situasi di Mesir dapat segera pulih dan proses demokratisasi sesuai keinginan dan harapan bangsa dan rakyat Mesir akan terus bergulir.”
Sementara itu Presiden SBY menyebutkan bahwa penggulingan Presiden Mesir Mohamed Morsi oleh militer, sebagai prahara politik dalam transisi politik di negeri itu. “Tentu kita mendoakan semoga prahara politik yang terjadi di Mesir bisa diakhiri dan transisi politik yang terjadi di negeri itu bisa berlangsung secara damai, demokratis dan berdasarkan kehendak rakyat mesir sendiri,” kata SBY saat memberikan sambutan buka puasa di Istana Negara.
Pernyataan kedua petinggi negara tersebut sudah dapat diduga sejak awal, yang semakin menguatkan kesan bahwa selama ini pemerintah RI selalu berusaha dalam posisi aman, dalam menyikapi setiap peristiwa politik internasional. Bahkan seorang politisi dari PAN Muhammad Najib, yang juga anggota Komisi I DPR RI, memberikan pernyataan agar pemerintah RI tidak mengeluarkan statemen apapun terkait kudeta di Mesir. ”Menurut saya, sikap pemerintah Indonesia dengan adanya Kudeta di Mesir, sebaiknya Pemerintah Indonesia tidak memberikan statement apapun terkait peristiwa Kudeta Mesir tersebut,” pungkas Muhammad Najib.
Namun pernyataan dengan nada sebaliknya justru disampaikan oleh Komnas HAM RI, yang menyebutkan bahwa kudeta Mesir adalah sebuah kejahatan kemanusiaan. “Hemat saya kudeta itu adalah kejahatan kemanusiaan, pengkhiatan demokrasi, serta mengorbankan rakyat dan masa depan Mesir,” ungkap Maneger Nasution, Komisioner Komnas HAM RI. Pihaknya menilai kudeta militer yang dilakukan terhadap Presiden Mursi adalah kejahatan kemanusiaan dan sebagai pengkhianatan demokrasi terbesar abad ini.
Selanjutnya Maneger memberikan pernyataan yang lebih maju, yaitu mengimbau kepada masyarakat dunia untuk mengutuk keras kudeta militer terhadap pemerintahan yang sah dan berdaulat di Mesir. Pihaknya juga berharap Presiden RI memberikan sikap lebih lugas lagi soal krisis Mesir ini, karena fatsun politik Indonesia adalah bebas aktif. Indonesia harus berperan aktif dalam menciptakan ketertiban dunia sesuai amanah UUD 1945.
Menganalisa Sikap Pemerintah Indonesia
Apakah pemerintah RI akan segera merespon harapan Komisioner Komnas HAM tersebut? Melihat karakter presiden SBY selama ini, rasanya tidak mungkin. Namun jika kita mencermati pernyataan SBY dan Menlu di atas, sebenarnya dapat ditarik benang merah tentang prinsip yang dipegang pemerintah Indonesia. Kata kuncinya adalah harapan agar tercapai proses demokratisasi di Mesir sesuai kehendak rakyat Mesir, sebagai tersirat dalam pernyataan kedua petinggi negara tersebut.
Saya menginterpretasikan bahwa Indonesia tetap mengakui pemerintahan Mursi sebagai pemerintah yang sah sebagai hasil pemilu, yang mencerminkan kehendak rakyat Mesir. Terkait legalitas pemerintahan Mesir pasca kudeta, saya yakin pemerintah Indonesia tidak akan mengeluarkan pernyataan yang memberikan pengakuan kepada pemerintah junta militer, karena tidak mencerminkan kehendak rakyat sebagai hasil pemilu.
Terkait hal itu, Hamdan Basyar (pengamat Timur Tengah dari LIPI) dalam wawancara yang dimuat di harian Republika hari ini (17/07/2013), memberikan pernyataan yang menguatkan. Ketika ditanya tentang sikap pemerintah Indonesia terhadap situasi di Mesir, Hamdan menjawab, “Saya melihat pemerintah kita ini mengakui siapa pun yang diakui rakyat mereka (Mesir). Kita tidak mau melakukan konfrontrasi dengan siapa pun. Jadi, siapa pun yang diakui di sana maka pemerintah kita akan mengakuinya. Artinya, menjalin hubungan baik dan tidak ikut campur.”
Ada dua hal yang dapat saya tarik kesimpulan tentang sikap pemerintah RI. Yaitu, mengakui pemerintahan Mursi atau mengakui pemerintahan parca kudeta sebagai hasil pemilu yang mencerminkan harapa dan kehendak rakyat Mesir. Pengakuan terhadap pemerintahan Mursi telah berlangsung hingga Mursi terguling. Sementara itu pengakuan terhadap pemerintah pasca kudeta tidak akan diberikan kepada pemerintahan interim. Pengakuan hanya akan diberikan kepada pemerintahan hasil pemilu. Masalahnya, kapankah pemilu itu akan dapat berlangsung?
Tanpa Ikhwanul Muslimin, Politik Mesir Tak Akan Stabil
Ya, tanpa Ikhwanul Muslimin, politik Mesir tak akan stabil. Hal ini karena begitu besarnya konstituen Partai Kebebasan dan Keadilan (FJP) sebagai sayap politik Ikhwanul Muslimin, yang tercermin pada hasil pemilu pada bulan Januari 2012. FJP meraih suara 47,18% (235 kursi), disusul oleh Partai Salafi An-Nur yang meraih suara 25% (121 kursi). Sementara itu Partai Wafd yang beraliran liberal hanya meraih 36 kursi atau 7,43%. Dan Koalisi Mesir meraih 33 kursi atau 6,81%. Dukungan terhadap pemerintahan Mursi dan Ikhwanul Muslimin semakin menguat dengan hasil referendum penentuan undang-undang (konstitusi) baru yang dirumuskan oleh majelis tinggi. Hasil referendum menunjukkan 63,8% mendukung konstitusi dan 36,2% menolak konstitusi.
Karena itu sangat terlihat, meskipun kudeta militer itu sendiri adalah penggulingan terhadap Mursi dan Ikhwanul Muslimin, namun Presiden Interim Adly Mansour berusaha sekuat tenaga untuk tetap melibatkan Ikhwanul Muslimin dalam kabinet bentukannya, meskipun dalam kondisi yang tentunya sangat berbeda. Mansour sadar betul bahwa pemerintahan Mesir tanpa Ikhwanul Muslimin akan sangat rapuh dan tidak stabil. Tapi tampaknya harapan Mansour bagai bertepuk sebelah tangan. Ikhwanul Muslimin menolak keras keterlibatan dalam kabinet hasil kudeta. Sementara itu Partai Salafi An-Nur, yang sebelum mendukung kudeta, menarik dukungan dan tidak mau terlibat dalam kabinet bentukan Mansour.
Ironisnya, usaha Adly Mansour itu justru dimentahkan oleh militer dengan tindakan represifnya dalam menghadapi demonstran pendukung Mursi, yang tentunya semakin menambah keras penentangan Ikhwanul Muslimin. Alhasil, kabinet bentukan Mansour yang dipimpin oleh Perdana Menteri Hazem El-Beblawi tidak menyertakan satu pun dari Ikhwanul Muslimin maupun Partai Salafi An-Nur.
Pemerintahan interim hasil kudeta itu sendiri bersifat sementara, yang harus segera diserahkan ke tangan sipil dalam sebuah proses demokratisasi atau pemilu. Militer tidak mungkin pemerintahan hasil kudeta itu dalam waktu yang lama, karena pasti akan ditentang, termasuk oleh negara-negara barat. Nah, bagaimana prediksi pemilu yang harus dipersiapkan oleh pemerintah interim tersebut?
(1) Jika pemilu dilaksanakan dengan jujur dan adil, maka hampir dipastikan Ikhwanul Muslimin akan kembali memenangkannya, bahkan dengan suara lebib besar dari pemilu tahun 2012. Euforia demonstrasi mendukung Mursi memperlihatkan realitas besarnya dukungan untuk Ikhwanul Muslimin yang tak tak terbantahkan. Ditambah, blunder Partai Salafi yang sempat mendukung kudeta, bisa menyebabkan larinya suara ke Ikhwanul Muslimin.
(2) Jika pemilu dilaksanakan dengan pemberangusan hak-hak politik Ikhwanul Muslimin dan penentang kudeta yang lain, maka bisa jadi Ikhwanul Muslimin akan memboikot pemilu. Dan diprediksi tingkat partisipasi pemilu hanya mencapai di bawah 30%, karena Partai Salafi pun kemungkinan akan ikut memboikot. Pemilu dengan tingkat partisipasi yang sangat rendah, tentunya sangat diragukan legitimasinya, dan juga sangat memalukan.
(3) Kemungkinan ketiga, pemerintah interim justru membuat langkah keras dengan melarang keikutsertaan Ikhwanul Muslimin dalam pemilu, dan menyatakannya sebagai partai terlarang. Konsekuensinya, rezim militer akan memberlakukan tindakan-tindakan yang represif dan mengekang hak-hak politik rakyat Mesir, yang tak ubahnya akan mengembalikan Mesir seperti pada era Husni Mubarak.
Kemungkinan pertama kemungkinan jika demokrasi diterapkan sesuai dengan hakikinya, sebuah hasil yang sesuai dengan kehendak rakyat, namun tidak diharapkan oleh rezim militer. Mungkin ini menjadi skenario langkah mundur militer yang terlihat elegan. Sebaliknya, kemungkinan kedua dan ketiga akan diambil rezim militer, jika menganggap bahwa penyingkiran kekuatan politik Ikhwanul Muslimin adalah sesuatu yang mutlak dan harus, dengan resiko legitimasi dan stabilitas pemerintahan yang sangat rendah.
Tampaknya prahara Mesir, sebagaimana disebut oleh SBY, masih akan berlangsung lama. Rakyat Mesir pun masih menunggu lama untuk mewujudkan kembali kehendak rakyat, akan sebuah pemerintahan yang didukung rakyat. Sampai kapankah pemerintah Indonesia menyatakan sikap yang tegas terhadap krisis politik di Mesir? Apakah Indonesia juga ikut galau seperti Amerika, menghindari kata kudeta dan lebih memilih istilah prahara politik?
*sumber: http://politik.kompasiana.com/2013/07/17/kudeta-mesir-sampai-kapankah-indonesia-membisu-577694.html
Posting Komentar