Di masa Rasulullah saw, umat Islam tidak memerlukan kaidah-kaidah tertentu dalam memahami hukum-hukum syar’i, semua permasalahan dapat langsung merujuk kepada Rasulullah saw lewat penjelasan beliau mengenai Al-Qur’an, atau melalui sunnah beliau saw.
Para sahabat ra menyaksikan dan berinteraksi langsung dengan turunnya Al-Qur’an dan mengetahui dengan baik sunnah Rasulullah saw, di samping itu mereka adalah para ahli bahasa dan pemilik kecerdasan berpikir serta kebersihan fitrah yang luar biasa, sehingga sepeninggal Rasulullah saw mereka pun tidak memerlukan perangkat teori (kaidah) untuk dapat berijtihad, meskipun kaidah-kaidah secara tidak tertulis telah ada dalam dada-dada mereka yang dapat mereka gunakan di saat memerlukannya.
Setelah meluasnya futuhat islamiyah, umat Islam Arab banyak berinteraksi dengan bangsa-bangsa lain yang berbeda bahasa dan latar belakang peradabannya, hal ini menyebabkan melemahnya kemampuan berbahasa Arab di kalangan sebagian umat, terutama di Irak . Di sisi lain kebutuhan akan ijtihad begitu mendesak, karena banyaknya masalah-masalah baru yang belum pernah terjadi dan memerlukan kejelasan hukum fiqhnya.
Dalam situasi ini, muncullah dua madrasah besar yang mencerminkan metode mereka dalam berijtihad:
- Madrasah ahlir-ra’yi di Irak dengan pusatnya di Bashrah dan Kufah.
- Madarasah ahlil-hadits di Hijaz dan berpusat di Mekkah dan Madinah.
Perbedaan dua madrasah ini terletak pada banyaknya penggunaan hadits atau qiyas dalam berijtihad. Madrasah ahlir-ra’yi lebih banyak menggunakan qiyas (analogi) dalam berijtihad, hal ini disebabkan oleh:
- Sedikitnya jumlah hadits yang sampai ke ulama Irak dan ketatnya seleksi hadits yang mereka lakukan, hal ini karena banyaknya hadits-hadits palsu yang beredar di kalangan mereka sehingga mereka tidak mudah menerima riwayat seseorang kecuali melalui proses seleksi yang ketat. Di sisi lain masalah baru yang mereka hadapi dan memerlukan ijtihad begitu banyak, maka mau tidak mau mereka mengandalkan qiyas (analogi) dalam menetapkan hukum. Masalah-masalah baru ini muncul akibat peradaban dan kehidupan masyarakat Irak yang sangat kompleks.
- Mereka mencontoh guru mereka Abdullah bin Mas’ud ra yang banyak menggunakan qiyas dalam berijtihad menghadapi berbagai masalah.
Sedangkan madrasah ahli hadits lebih berhati-hati dalam berfatwa dengan qiyas, karena situasi yang mereka hadapi berbeda, situasi itu adalah:
- Banyaknya hadits yang berada di tangan mereka dan sedikitnya kasus-kasus baru yang memerlukan ijtihad.
- Contoh yang mereka dapati dari guru mereka, seperti Abdullah bin Umar ra, dan Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash, yang sangat berhati-hati menggunakan logika dalam berfatwa.
Perbedaan kedua madrasah ini melahirkan perdebatan sengit, sehingga membuat para ulama merasa perlu untuk membuat kaidah-kaidah tertulis yang dibukukan sebagai undang-undang bersama dalam menyatukan dua madrasah ini. Di antara ulama yang mempunyai perhatian terhadap hal ini adalah Al-Imam Abdur Rahman bin Mahdi rahimahullah (135-198 H). Beliau meminta kepada Al Imam Asy-Syafi’i rahimahullah (150-204 H) untuk menulis sebuah buku tentang prinsip-prinsip ijtihad yang dapat digunakan sebagai pedoman. Maka lahirlah kitab Ar-Risalah karya Imam Syafi’i sebagai kitab pertama dalam ushul fiqh.
Hal ini tidak berarti bahwa sebelum lahirnya kitab Ar-Risalah prinsip prinsip ushul fiqh tidak ada sama sekali, tetapi ia sudah ada sejak masa sahabat ra dan ulama-ulama sebelum Syafi’i, akan tetapi kaidah-kaidah itu belum disusun dalam sebuah buku atau disiplin ilmu tersendiri dan masih berserakan pada kitab-kitab fiqh para ‘ulama. Imam Syafi’i lah orang pertama yang menulis buku ushul fiqh, sehingga Ar Risalah menjadi rujukan bagi para ulama sesudahnya untuk mengembangkan dan menyempurnakan ilmu ini.
Abu Abdillah Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i ra memang pantas untuk memperoleh kemuliaan ini, karena beliau memiliki pengetahuan tentang madrasah ahlil-hadits dan madrasah ahlir-ra’yi. Beliau lahir di Ghaza, pada usia 2 tahun bersama ibunya pergi ke Mekkah untuk belajar dan menghafal Al-Qur’an serta ilmu fiqh dari ulama Mekkah. Sejak kecil beliau sudah mendapat pendidikan bahasa dari perkampungan Huzail, salah satu kabilah yang terkenal dengan kefasihan berbahasa. Pada usia 15 tahun beliau sudah diizinkan oleh Muslim bin Khalid Az-Zanjiy – salah seorang ulama Mekkah – untuk memberi fatwa.
Kemudian beliau pergi ke Madinah dan berguru kepada Imam penduduk Madinah, Imam Malik bin Anas ra (95-179 H) dalam selang waktu 9 tahun – meskipun tidak berturut-turut – beserta ulama-ulama lainnya, sehingga beliau memiliki pengetahuan yang cukup dalam ilmu hadits dan fiqh Madinah. Lalu beliau pergi ke Irak dan belajar metode fiqh Irak kepada Muhammad bin Hasan Asy-Syaibani ra (wafat th 187 H), murid Imam Abu Hanifah An-Nu’man bin Tsabit ra (80-150 H).
Dari latar belakangnya, kita melihat bahwa Imam Syafi’i memiliki pengetahuan tentang kedua madrasah yang berbeda pendapat, maka beliau memang orang yang tepat untuk menjadi orang pertama yang menulis buku dalam ilmu ushul. Selain Ar-Risalah, Imam Syafi’i juga memiliki karya lain dalam ilmu ushul, seperti: kitab Jima’ul-ilmi, Ibthalul-istihsan, dan Ikhtilaful-hadits.
Dapat kita simpulkan bahwa ada tiga faktor yang menyebabkan munculnya penulisan ilmu ushul fiqh:
- Adanya perdebatan sengit antara madrasah Irak dan madrasah Hijaz.
- Mulai melemahnya kemampuan bahasa Arab di sebagian umat Islam akibat interaksi dengan bangsa lain terutama Persia.
- Munculnya banyak persoalan yang belum pernah terjadi sebelumnya dan memerlukan kejelasan hukum, sehingga kebutuhan akan ijtihad kian mendesak.
Setelah Ar-Risalah, muncullah berbagai karya para ulama dalam ilmu ushul fiqh, di antaranya:
- Khabar Al-Wahid, Itsbat Al-Qiyas, dan Ijtihad Ar-Ra’y, ketiganya karya Isa bin Aban bin Shadaqah Al-Hanafi (wafat th 221 H).
- An-Nasikh Wal-Mansukh karya Imam Ahmad bin Hambal (164-241 H).
- Al-Ijma’, Ibthal At-Taqlid, Ibthal Al-Qiyas, dan buku lain karya Dawud bin Ali Az-Zhahiri (200-270 H).
- Al-Mu’tamad karya Abul-Husain Muhammad bin Ali Al-Bashri Al-mu’taziliy Asy-Syafi’i (wafat th 436H).
- Al-Burhan karya Abul Ma’ali Abdul Malik bin Abdullah Al-Juwaini/Imamul-haramain (410-478 H).
- Al-Mustashfa karya Imam Al-Ghazali Muhammad bin Muhammad (wafat 505 H).
- Al-Mahshul karya Fakhruddin Muhammad bin Umar Ar-Razy (wafat 606 H).
- Al-Ihkam fi Ushulil-Ahkam karya Saifuddin Ali bin Abi Ali Al-Amidi (wafat 631 H).
- Ushul Al-Karkhi karya Ubaidullah bin Al-Husain Al-Karkhi (wafat 340 H).
- Ushul Al-jashash karya Abu Bakar Al-Jashash (wafat 370 H).
- Ushul as-Sarakhsi karya Muhammad bin Ahmad As-Sarakhsi (wafat 490 H).
- Kanz Al-Wushul Ila ma’rifat Al-Ushul karya Ali bin Muhammad Al-Bazdawi (wafat 482 H).
- Badi’un-Nizham karya Muzhaffaruddin Ahmad bin Ali As-Sa’ati Al-hanafi (wafat 694 H).
- At-Tahrir karya Kamaluddin Muhammad bin Abdul Wahid yang dikenal dengan Ibnul Hammam (wafat 861 H).
- Jam’ul-jawami’ karya Abdul Wahab bin Ali As Subki (wafat 771 H).
- Al-Muwafaqat karya Abu Ishaq Ibrahim bin Musa Al-gharnathi yang dikenal dengan nama Asy-Syathibi (wafat 790 H).
- Irsyadul-fuhul Ila Tahqiq ‘Ilm Al-Ushul karya Muhammad bin Ali bin Muhammad Asy-Syaukani (wafat 1255 H).
Sumber: http://www.dakwatuna.com/2007/01/11/46/sejarah-singkat-ilmu-ushul-fiqh/#ixzz2ZUy8SdFR
Follow us: @dakwatuna on Twitter | dakwatunacom on Facebook
Posting Komentar