Oleh Andi Irawan
Peminat Telaah Ekonomi Politik Pangan
Apa pelajaran dari persepektif kebijakan yang bisa diambil dari penyelenggaraan Operasi Pasar Daging sapi yang dilakukan Bulog sejak tanggal 17 Juli yang lalu?
Dari berita media kita tahu Bulog ditolak masuk ke sejumlah pasar, alasan penolakan masuk Bulog memang relatif berbeda. Ada yang menolak karena mengatakan kualitas daging Bulog tidak baik dibanding daging yang selama ini mereka pasarkan. Daging beku Bulog tidak enak saat diolah menjadi masakan dan kandungan lemaknya lebih tinggi dibanding daging segar, kasus ini terjadi di Pasar Senen (TEMPO.CO 19 Juli 2013)
Lain lagi di Surabaya, penolakan masuknya daging sapi beku Bulog Di Pasar Wonokromo ditolak pedagang karena dianggap merugikan mereka. Daging operasi pasar dijual Rp 72 ribu, sedangkan pedagang menjual seharga Rp 95 ribu. Tentu kalau disuruh menjual murah, mereka bisa bangkrut.
Bahkan yang menarik bukan hanya pedagang bahkan regulator pun menolak masuknya daging sapi beku Bulog . Fenomena ini bisa dilihat dari pernyataan dari Direktur Perusahaan Dagang Pakuan Kota Bogor kota Bogor yang mengatakan pemerintah Bogor melarang daging impor beku dijual di pasar tradisional agar tidak mengganggu harga dan pasokan daging lokal (Koran Tempo 19/7).
Ketika Bulog dilarang masuk ke dalam pasar untuk melakukan operasi pasar adalah indikasi yang kuat bahwa memang pasar daging sapi itu bersifat kartel. Ada kekuatan jaringan pasar yang berkoalisi sedemikian rupa yang menyebabkan pelaku ekonomi lain yang tidak sinkron dengan kepentingan ekonomi mereka tidak mungkin bisa masuk pasar.
Ibarat gunung es penolakan masuknya Bulog ke pasar-pasar tradisional adalah bagian yang tampak dari kekuatan-kekuatan pasar yang distortif yang tidak menghendaki masuknya pelaku pasar lain yang bisa merusak keuntungan ekonomi mereka. Adanya kekuatan distortif ini menyebabkan harga yang terjadi tidak mencerminkan kelangkaan barang yang alami tetapi kelangkan yang sengaja dibentuk oleh kekuatan pasar tersebut (Price maker).
Operasi pasar hanya bermanfaat menstabilkan pasar ketika kelangkaan barang yang terjadi karena faktor alamiah, suplai yang tidak mencukupi demand semata. Ketika ada penolakan terhadap masuknya barang baru ke pasar itu mengindikasikan pasar tidak dalam kondisi bersaing sehat tetapi didistosi oleh kekuatan tertentu di pasar tersebut (price maker).
Operasi pasar tidak akan bisa menurunkan harga pasar yang naik karena kekuatan price maker. Jadi Operasi pasar Bulog sebenarnya dari kacamata ekonomi bukanlah implementasi stabilisasi harga hanya sekedar bakti sosial di pasar. Menjual dengan harga murah untuk masyarakat selama stok Bulog masih ada. Ketika stok tersebut habis masyarakat akan membeli harga pasar yang terdistorsi kembali.
Mengatasi masalah kekuatan distortif pasar ini, baik ia berbentuk monopoli, oligopoli atau kartel tidak bisa di atasi dengan operasi pasar. Yang perlu dilakukan adalah law enforcement pemerintah untuk menghilangkan kekuatan ekonomi distortif tersebut. Karena kekuatan ekonomi yang sedemikian sudah terkategori dalam perilaku kriminal ekonomi.
Undang-undang no 5 tahun 1999 tentang Undang-undang anti monopoli telah mengamanahkan untuk menghilangkan semua bentuk kekuatan pasar yang distortif tersebut. Artinya kalau memang pemerintah ingin mengatasi masalah kenaikan harga daging sapi perlu di bedah habis terlebih dulu jaringan kekuatan pasar daging sapi dari hulu sampai hilir untuk menemukan sel kanker monopoli atau oligopoli kartelnya. Selanjutnya menghilangkan kekuatan distortif tersebut.
Untuk mengatasi masalah ini lembaga-lembaga pemerintah seperti Komisi Pengawas Persaingan Usaha, POLRI, kemendag, lembaga intelijen negara bahkan KPK perlu bersinergi untuk menghilangkan kekuatan pasar yang kriminal tersebut yang bukan saja merugikan konsumen tetapi juga merugikan peternak.
Selanjutnya, kalau memang swasembada daging sapi tetap ingin menjadi target pemerintah maka kita mesti pula menghadirkan BUMN logistik untuk daging yang berfungsi sebagai stabilitator harga dan penjagabuffer stock daging. Bisa diperankan oleh Bulog atau BUMN baru.
BUMN ini niscaya hadir karena karakter suplai sapi lokal tidak memungkinkan memenuhi permintaan daging sapi di tingkat konsumen. Benar, untuk swasembada hanya butuh 12,6 juta ekor padahal populasi sapi kita 14,8 juta ekor berdasarkan sensus ternak BPS 2011.
Tetapi permasalahannya adalah puluhan juta sapi yang terdata tersebut berada di kandang para peternak kecil yang lokasinya tersebar di seluruh pelosok negeri. Semua itu bukan merupakan ternak yang sewaktu-waktu bisa dipotong dalam kondisi darurat kelangkaan daging (ready stock). Para peternak kecil skala rumah tangga itu memelihara ternak untuk kepentingan berjaga-jaga dan tabungan, dijual ketika ada kepentingan mendesak. Padahal sumber dari peternak kecil harus memenuhi 86 persen kebutuhan daging sapi domestik. Sehingga ketika sumber ini tidak merupakan ready stock maka sangat rawan memicu kenaikan harga daging sapi yang tajam.
BUMN inilah yang menjemput dan membeli ternak sapi rakyat dan membelinya dengan harga subsidi pemerintah yang masih menguntungkan peternak, dan selanjutnya menyimpannya sebagai stok negara. Ketika harga daging sapi mahal stok negara inilah yang dilempar kepasar dengan harga yang lebih murah sehingga stabilisasi harga yang menguntungkan petani dan masih bisa diakses masyarakat bisa terjaga.
*Koran Suara Pembaruan (22/7/2013)
Posting Komentar